Cerita mencekam di Panaruban

Fujiharu.com – Ini adalah cerita berdasarkan pengalaman aku yang juga ditambahkan sedikit “bumbu” ketika menjadi mahasiswa tingkat dua universitas negeri di Bandung Utara. Cerita ini terinspirasi dari cerita KKN Desa Penari.

Cerita mencekam di Panaruban

Menulis cerita horo membuat mataku tiba tiba berair. Bukan menangis sesenggukan, tapi entah kenapa, sejak kecil, jika aku akan bercerita hal hal mistis atau merasakan hal menakutkan, maka air mata menetes nggak terkontrol.

Kejadian terjadi ketika aku menjadi panitia kepemimpinan di himpunan jurusan. Banyak sekali hal mistis yang aku terima dan semuanya jauh dari logika nyata.

Aku merasakan kehadiran mereka yang saling mengintip dikegelapan malam kepada kami semua; ada yang kerasukan; tiba tiba suara sekitar sunyi senyap, tidak ada satupun suara alam yang terdengar, mungkin yang paling aku kaget dan rasakan adalah ketika melihat sosok perempuan yang aku kira adik kelas.

Kegiatan kepemimpinan setiap tahun selalu dilaksanakan, biasanya untuk menggembleng anak baru dan akan memilih beberapa orang yang mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Acara kepemimpinan jurusan juga sebagai wadah untuk mempererat jalinan persahabatan kita semua.

Saat itu aku menjadi pembimbing mahasiswa baru.

Acara kepemimpinan jurusan biasa dilakukan di tengah hutan panaruban, Subang. Itulah yang aku rasakan, karena kanan kiri jalan hanyalah pohon teh dan juga gundukan tanah yang berjejer dipinggir kanan dan kiri jalan.

Aku merasakan kalo wilayah ini sepertinya daerah yang sering digunakan untuk acara perkemahan, soalnya ada beberapa spot yang sepertinya biasa dilakukan untuk acara kemah; irigasi sederhana dipinggiran tenda, dll.

Baca Juga: Cara melihat setan

Dulu, ketika aku menjadi mahasiswa baru juga melakukan hal yang sama di daerah Panaruban tersebut. Tapi, saat itu sama sekali nggak semenakutkan yang aku rasakan ketika menjadi panitia. Saat masih menjadi mahasiswa baru, kondisi aman terkendali.

Persiapan barang barang yang akan kita gunakan untuk acara jurusan telah disiapkan. Sekitar sore hari kita semua bersiap berangkat ke Panaruban untuk berkemah. Biasanya acara perkemahan ini sekitar 2 hari.

Karena aku ada dikelompok terakhir, aku mulai merasakan kejanggalan, apalagi aku membawa adik kelas perempuan yang sangat sensitif terhadap lingkungan sekitar.

Berdekatan dengan orang orang yang sensitif membuatku nggak nyaman juga. Bukan berarti nggak suka, tapi ada obrolan yang nggak sesuai dengan logika aku jika dia bicara. Mungkin karena dia bisa merasakan lebih terhadap sesuatu yang kasat mata dilingkungan sekitar, sedangkan aku kurang begitu sensitif, maka jadilah hal hal yang diucapkannya membuatku gelisah juga.

Kita semua sampai di daerah Panaruban, Subang pada magrib. Kita mungkin akan sampai di tenda perkemahan pada pukul 8 an. Jalanan yang naik turun harus kita lalui karena hanya jalan itulah yang bisa kita lewati untuk sampai tempat tersebut.

Karena adik kelasku kondisinya kurang fit, maka berkali kali kami disalip oleh rombongan lain. Sampai rombongan kami menjadi yang terakhir dari acara tersebut.

Ditengah perjalanan, seorang adik kelas yang sensitif tersebut mengucapkan sesuatu yang membuatku tersirap ketakutan dan mulai was was.

“Kang, kayak ada bau dan suara orang mandi ya.”

“Hah, mandi? dimana?” kataku, ragu ragu.

Suara orang mandi seperti apa? Cekikikan? Apakah bau sampo? Aku mulai gelisah. Siapa yang mandi saat jam maghrib begini, apalagi ini jalanan hutan. Nggak ada seorangpun yang tinggal disini. Bahkan mungkin hanya kitalah yang ada disitu. Misal ada orangpun, masa iya mandi dikali saat ini?

“Iya, coba aja lihat kanan dan kiri kita”

Ucapannya itu cukup jelas, tapi dengan suara yang agak aneh, seperti bukan dia yang berbicara.

Karya Fujiharu

Aku pandangi kanan kiriku yang diapit oleh gundukan tanah dan pohon teh yang cukup besar. Entah kenapa, pohon pohon teh yang ada dikanan kiri kami tidak seperti pohon teh biasa yang kecil dan terawat.

Dikanan kiri kita, pohon tehnya cukup besar dan nggak terawat.

Aku berharap bahwa ini semua hanya ilusi. Aku berusaha kuat dan mencoba mencari sesuatu yang ada di kanan kiri jalan kita. Saat itu hanya ada 4 orang yang ada di rombongan.

Ketika melihat jalanan yang gelap gulita, aku berharap nggak menemukan apapun, entah makhluk apapun itu. Aku nggak mau karena perjalanan masih jauh dan saat ini fokusku adalah membawa adik kelas untuk ke tenda.

Sesampai di tenda, aku cukup capek karena harus memapah adik kelasku. Belum sempat aku bercerita banyak dengan teman teman lain karena harus ada meeting tentang rangkaian acara, dll.

Lalu, mulailah acara malam kaderisasi dilakukan. Biasanya kita beracting melihat respon mereka, apakah mereka akan egois atau justru semakin kuat dengan tekanan yang kita berikan.

Ada beberapa yang tumbang dan juga menangis. Suasana saat itu cukup menguras emosi.

Lalu, tibalah hal mencekam terjadi. Saat itu aku sedang di tenda bersama dengan salah satu senior yang juga bisa merasakan kehadiran makhluk halus disekitarnya.

“Hei, coba perhatikan sekitar. Nggak ada suara satupun yang terdengar. Padahal ini hutan, harusnya ada suara jangkrik atau gesekan ranting kena angin”

Aku perhatikan. Iya, waktu seolah terhenti saat itu.

“Kenapa ya?”

Aku mengintip dari dalam tenda dan melihat suasana sekitar. Aku merasakan ada hawa aneh dan serasa banyak sekali mata mata yang memandang kita semua. Karena aku cukup takut, aku kembali ke tengah tenda dan mulai berdoa.

“Kita banyak berdoa aja,” ucap senior tersebut.

Tiba tiba, keheningan malam langsung terpecah ketika ada suara jeritan yang melolong di tengah hutan. Ya, salah satu adik kelasku kesurupan. Dia menjerit jerit dan panitia bergegas memisahkannya di tenda yang dikhususkan untuk mereka yang sakit. Tapi, bagi yang sakit juga ketakutan dan berhamburan keluar ke tempat lain.

Aku melihat dari kejauhan. Apa yang terjadi ya? Aku ingin menolong, tapi aku juga nggak bisa mengembalikan seseorang yang kesurupan.

Aku melihat senior senior aku yang mempunyai ilmu “lebih” mendatangi tenda yang diisi mahasiswa yang kesurupan.

Beberapa panitia rohis meminta siapapun untuk mengaji agar suasana kembali tenang. Bagi yang bisa mengaji, diharapkan juga mendekati tenda orang yang kesurupan.

Aku ingin membantu, tapi apakah bisa? Jeritan tersebut membuatku takut bukan kepalang. Kita berada di tengah hutan dan hanya beberapa orang saja yang bisa ilmu “lebih”.

Ketakutan lain kembali terjadi ketika satu tenda yang diisi oleh beberapa teman sekelas menjerit dan berteriak ketakutan. Mereka berhamburan tak tentu arah dari tenda kecil.

“Ada kakek kakek,” Jerit seseorang.

Dan ketakutan kembali menguar. Kakek kakek? Darimana? Mungkin panitia yang tertua di acara ini adalah senior kita yang telah bekerja, tapi mungkin masih dibawah 30 tahun. Lalu siapa kakek kakek yang ada di tenda?

Karena kepala udah sakit dan berat memikirkan semua itu, aku putuskan untuk ikut ,mengaji. Aku ambil alquran dan mendekati orang yang kesurupan.

Beberapa teman telah duduk dan mengaji, dekat tenda mahasiswa yang kesuruapan. Teriakan dari mahasiswa tersebut sangat keras dan geraman keluar dari mulutnya.

Kupandangi mereka dari tempat aku berdiri mengambil ancang ancang untuk mengaji.

Seorang mahasiswi berambut panjang dan tergerai teriak teriak berusaha melepas pegangan dari para senior. Rambut panjangnya bergerak tak beraturan. Saat itu aku nggak bisa melihat mukanya karena cukup gelap, tapi aku masih bisa melihat jika bajunya terlihat putih dan agak kotor.

Aku mulai mengaji bersama teman teman lain.

Hatiku mulai tenang, lalu teriakan juga semakin berkurang sampai suara alam kembali terdengar lagi. Udara dingin biasa juga kembali aku rasakan.

Acara malam itu telah merusak rencana para panitia karena kondisi yang nggak sesuai. Tapi kita bersyukur bahwa mahasiswa baru tidak terjadi sesuatu.

Keesokan harinya, kita pulang semua ke kostan masing masing.

Kita belum sempat saling bercerita karena fisik dan psikis kita benar benar terkuras. Sekitar 2 hari setelahnya, kita mulai saling bercerita tentang teror malam saat kaderisasi. Kita semua mencocokkan cerita dengan berbagai versi.

Namun, cerita berhenti ketika mereka mendengar ceritaku.

“Siapa sih yang kesurupan malam itu? Kasihan ya. Rambut panjang ampe semrawut banget dan bajunya jadi agak kotor.”

“Kamu lihat mahasiswa kesurupan berambut panjang?” Kata temanku dengan heran. Dia memegang tanganku dengan pandangan aneh.

“Iya, kan aku lihat mereka sedang dipegang senior kita. Lalu aku ngaji disamping tenda tersebut.”

“Orang yang kesurupan adalah Dea. Kamu tahu Dea kan?” Tanyanya memastikan.

Dea adalah junior aku di jurusan yang potongan rambutnya sangat pendek.

“Iya aku tahu, yang berambut pendek itu kan?” Jawabku tanpa salah.

Temenku melotot nggak percaya.

“Masya Allah, lalu siapa yang aku lihat malam itu?”

Baca Juga: