Aku, Pendengar Bisu (Cerpen)

Fujiharu.com – Ketika melihat temanku terpecah, tersayat hati ini. Ya, ini adalah jalan yang mungkin akan mendewasakan kita.

Aku, Pendengar Bisu (Cerpen)

By: Fujiharu

Seperti biasa, orang-orang yang ada disekitarku menganggapnya tidak ada, tapi aku ada dan berguna. Mereka tidak pernah bercerita kepadaku, tapi aku selalu mengatahui apa yang mereka bicarakan. Kadangkala, mereka menyiksaku dengan injakannya yang membekas. Tapi, seperti biasa, aku hanya mendiamkannya. Aku tidak boleh membalas pada orang orang yang menyakiti aku.

Dibalik semua kesedihanku yang tidak dihargai dan selalu menderita, aku terhibur dengan cerita mereka yang bahagia, atau hatiku akan lebih teriris sakit -lebih dari perlakukan mereka yang kejam- ketika aku mendengar kesedihan orang-orang yang ada disekitarku.

Akhir akhir ini aku mendengar keluh kesah dari gadis-gadis cantik yang berkerumun, berbisik ketika pelajaran berlangsung. Awalnya aku merasa geram pada mereka karena tidak menghargai dosennya yang sedang membagi ilmu. Saat berlangsungnya pembelajaran, seharusnya mereka mendengarkannya dengan baik, tapi apa yang mereka lakukan justru berbicara satu sama lain- kurang pantas sebagai mahasiswa. Bagaimana negeri ini bisa maju jika para mahasiswanya seperti ini?

Tapi, ketika aku mendengarkan bisikan mereka yang sangat seru, aku tergelitik juga untuk lebih jauh mendengarkan.

Empat gadis ini menggunjingkan teman satu gengnya yang dianggapnya telah berkhianat, berbohong, iri hati dan sombong. Itulah kata-kata yang aku tangkap dari bisikan mereka yang kadangkala terhenti ketika Pak Dahidi mendehem agar mendapatkan perhatian dari mahasiswanya.

“Kamu ingat ketika dia mengaku punya pacar yang bernama Ari, terus kita pengen dikenalkan pada kita? Bohong. Kita sudah menelepon Ari, tapi justru Ari bilang nggak tahu, dan kita pertemukan Ari dengan Aisha, tapi justru Ari bilang nggak kenal. Kalau aku mah udah benci tingkat sembilan. Jiijik lihat mukanya.” Ucap Disti, sambil mengharap persetujuan dari yang lain.

“Bener. Ketika aku beli HP baru juga ia nggak mau kalah sampai harus beli HP yang sama. Sampai-sampai kita harus ke BEC pada malam hari hanya agar esoknya ia juga bisa memperlihatkan HP baru itu.” Timpal teman Disti yang memakai baju hijau.

Karya Fujiharu

“Udah deh, ngapain kita ngomongin Si Aisha Pengkhianat itu,” usul Meli.

Semua mengangguk setuju dan kembali mengikuti kegiatan perkuliahn dengan pikiran satu: Betapa menjengkelkannya punya teman yang bernama Aisha.

Bisikan yang dilakukan empat gadis cantik itu bukanlah yang pertama kali, tapi puluhan kali aku mendengarnya. Awalnya mereka adalah Lima gadis yang sangat kompak dan seru, sampai-sampai mahasiswa lain merasa kehilangan jika tidak ada mereka. Mereka seolah pencair suasana tatkala kebisuan melanda. Celotehan mereka yang spontan selalu menggugah kita untuk tersenyum.

Keretakan dalam diri mereka aku ketahui ketika aku melihat Aisha duduk terpinggir tanpa senyuman. Aisha selalu menghindari teman satu gengnya. Anggota geng tersebut juga merasa bersyukur tidak berdekatan dengan Aisha. Mungkin merasa najis atau apa, jika duduk berdekatan dengannya.

Orang yang aku ketahui bertanya tentang keretakan kelompok tersebut adalah ketua kelas mereka yang bernama Aji. Aji selalu memperhatikan teman-temannya. Entah kenapa ia merasa ganjil dengan suasana yang ditimbulkan. Suasana yang dulu selalu cair kini seolah beku, Walaupun kadangkala ada juga lelucon dari yang lain.

Karya Fujiharu

“Hei, kalian lagi marahan ya ama Aisha. Kasihan tahu. Ia selalu sendirian dan kelihatan sedih. Bagusan kayak dulu, kompak.”

“Ji, kamu nggak tahu apa aja kebusukan yang ia timbulkan. Kami sakit hati. Sakit. Kami pernah menasihati dia dan memberinya beberapa kali kesempatan agar berubah. Tapi apa yang kami dapat? Kami kembali dibohongi. Coba kamu bayangkan kalau kamu dibohongi oleh teman terbaikmu berkali kali?”

“Iya, tapi…kasih….” Meli memotong pembicaraan..

Meli seolah yang paling berhak untuk membeberkan semua kesalahan yang pernah Aisha lakukan.

“Jangan pernah kasihan padanya. Kamu pernah dapat SMS kalau ia kemalingan bukan? Bohong. B-O-H-O-N-G. Setelah kami tahu kalau kamu dapat SMS yang isinya ia kemalingan, kami sebagai temannya langsung khawatir dan segera datang menjenguk. Tapi, apa yang kami dapat setibanya disana? Ia dengan santai menjawab kalau kosannya tidak terjadi apa apa. Malahan ia sedang ngerujak bareng temannya disitu. Itu yang namanya kemalingan? Bullshit!” Meli mengatakannya dengan berapi api. Mukanya sampai merah geram menceritakan kebusukan Aisha.

“Kami pernah menasihatinya dengan yang baik-baik sampai dengan yang keras. Kami marah marah pada dia, kenapa dia harus berbohong. Kami menangis bersama, tapi dia tetap aja begitu. Akhirnmya kami bosan dan lebih baik meninggalkan orang yang seperti itu. Jijik jijik jijik.”

Aji hanya mendengarkan ucapan mereka dengan seksama, ia sudah berusaha mendamaikan beberapa temannya, tapi masih gagal. Semoga teman yang lain juga berusaha mendamaikan mereka.

Di jumat sore, aku mendengar isak tangis Aisha dan keluhannya yang pelan. Ia mengeluh sedih dan seolah tidak ada yang berusaha membantunya. Aku ingin sekali menghibur, tapi aku tidak bisa bicara.

Aku mencoba memberikan senyum berwarnaku yang cerah ketika dia memandangku, tapi ia hanya menganggapku barang mati, tak bernyawa dan tak berguna. Dia hanya lewat dan tidak memberikan penghargaan untuk usahaku.

Aku mengeluh juga. Kenapa mereka tidak pernah menganggapku ada dan berguna. Jika mereka mengagangapku ada, maka sudah pasti aku akan senang dan merekapun bisa menceritakan segala sesuatunya padaku, karena aku adalah pendengar yang baik.

Hem…….

Eh, kenapa Aisha kembali lagi.

Aisha kembali memandangi seluruh isi kelas. Dia berkata pelan, tapi sangat jelas.

“Kenapa kalian tidak biasa mempercayai aku lagi? Aku kesepian. Mana teman-temanku yang selalu berkata akan membantu jika kesedihan menimpa salah satu dari kita? Apakah semua janji yang dulu kita ucapkan hanya sebatas bibir?”

“Aku emang bohong ama kalian, tapi ini juga untuk kebaikan kita juga. Aku cuma nggak pengen cerita memalukan dan bikin sedih ini dibagi dengan kalian. Ada kalanya cerita bisa dibagi dan juga nggak. Apa kalian nggak ngerti?”

Aku mencoba menjerit agar mendapat perhatian dari Aisha, tapi ia tidak memandangiku. Aku akan menolong jika kamu menceritakan yang sesungguhnya.

“Kalian semua brengsek.” Isaknya.

Dia keluar kelas, lalu tanpa disangka mencoret mukaku dengan tulisan, ”Sialan!” dan dengan raut muka yang marah, ia menendangku. Ada cap sepatu yang sangat kotor menempel dimukaku.
Aduh, aku kaget geregetan. Aku berusaha menolong tapi justru dihinakan.

Nasib. Andai saja aku bukan dinding kelas!

Baca Juga: