Kau Dan Jahanam (Cerpen)

Kau Dan Jahanam (Cerpen)

Fujiharu.com – Terinspirasi dari keluarga yang bercerai. Anak adalah korban dari mereka.

Jika kau ingin tahu jawaban atas pertanyaannya, maka selamilah jiwanya. Jika kau tak menemukan jiwanya, carilah jiwa itu di pinggir pantai. Disanalah kau akan menemukan jiwa yang terkoyak itu. Jiwa yang retak dan lemah.

Kau sangat penasaran, mengapa orang itu membenci ibunya, tapi disisi lain kau akan mengetahui kalau ia sangat menyayangi ibunya.

Kau bertanya pada seorang gadis manis berumur lima belas tahunan, anak SMA yang cantik rupawan. Ia masih memakai rok abu abunya. Saat itu kau bertanya di jalan, sambil melihat seorang pemuda yang aneh.

“Kau tahu nama ia siapa?”

Si gadis hanya menjawab pertanyaan kau dengan satu kata ”Jahanam”. Ya, pemuda tanggung yang membuat kau penasaran itu sering dipanggil penduduk sekitar rumah dengan sebutan “Jahanam”. Kau mengira kalau masyarakat yang ada di situ sangat sinting, tapi tidak!

“Ibuku seorang wanita yang biadab. Ia manusia terkeji yang aku kenal. He…he….Ayahku biasa memanggilnya “jalang dan jahanam”. Pemuda yang bernama jahanam itu memaki- maki ibunya ditengah tengah masyarakat.

Kau kembali penasaran, mengapa para penduduk membiarkan jahanam berkeliaran? Merasa tenang tanpa takut ia berlaku kasar. Padahal, jahanam telah menunjukan prilaku yang abnormal. Jahanam berbicara sendiri dan tertawa dengan keras. Sesekali ia marah dengan mengumpat kata-kata kotor tentang ibunya.

Kembail kau mendapat jawaban yang tidak terduga.

“Oh, jahanam. Walaupun ia berkelakuan seperti itu, sampai sekarangpun belum pernah merusak sesuatu. Anda jangan khawatir, ia akan baik baik saja.”

Jawaban lain yang kau terima mengatakan, ”Bisa dibilang jahanam gila, tapi kadangkala ia juga seperti orang biasa.”

Oh, kau menatapnya dengan penuh iba. Tanpa terasa kau meneteskan air mata yang mungkin baru pertama kali menetes dipipi yang ber make up tebal itu. Tetes-tetes kepedihan yang baru kau rasakan setelah menghilang puluhan tahun. Ya, menghilang untuk melupakan kepedihan dan kesedihan yang melanda. Dulu, dulu sekali. Tapi, rasa sedih kembali hadir setelah kau melihat Jahanam yang memaki ibunya.

Selimut senja yang kuning tua merangkul siang, menggantinya secara perlahan dengan kegelapan malam. Burung-burung kembali keperaduannya untuk menengok anaknya yang telah menanti lama.

Kau berjalan tanpa tahu arah. Kau hanya menuruti kemana kaki melangkah. Mungkin ketempat dimana kau bisa menumpahkan segala keluh-kesah, tanpa takut ada yang tahu kalau kau sedih. Ya, sedih memikirkan anak yang telah kau tinggalkan demi mencari kedamaian sendiri.

By Fujiharu

“Lambat sekali kamu. Hanya membuat kopi saja lamanya setengah mati. Apa bosan melayani suami? Kalau bosan, cari saja laki-laki lain.” Ucap suami, kasar.

Sebenarnya kau bosan hidup dengannya. Suami kau hanya seorang kuli bangunan, tapi segala sesuatunya ingin seperti raja. Harus cepat dan mewah.

“Bang, aku bosan jika kamu selalu memarahiku. Aku lambat karena gula yang ada di dapur sudah habis, jadi aku minta pada Tami, tetangga sebelah.”

“Alasan. Bilang saja kalau kamu malas melayani suamimu ini. Kalau laki-laki lain pasti servisnya cepat, tidak sepertiku yang lambat begini. Lagian, kenapa kamu tidak bisa berhemat. Bukankah tiap hari aku selalu memberimu uang?”

Kau hanya menghela napas, berusaha menikmati hidup ini. Sampah sampah beterbangan di halaman rumah yang seluas satu meter. Di halaman itu hanya ada pohon kaktus berduri yang bertengger kuat. Di samping pohon kaktus, seekor kucing memakan ikan-mungkin baru mencuri dari rumah Tami. Kalau kau tidak mungkin bisa membeli ikan yang besar itu. Tiap hari keluarga kau hanya makan nasi seadanya dengan lauk onta: oncom-tahu.

Sebentar kemudian, Tami berteriak jengkel mengetahui ikan yang dipersiapkan untuk keluarganya hilang. Mejanya acak acakan. Tami menggerutu sambil menengok jendela dan bertanya pada kau.

“Ikannya hilang? Aduh..aku nggak tahu,” ucap kau berbohong. Dalam hati kau senang karena tetanggapun tidak makan enak.

“Berapa uang yang kamu beri untuk kita makan? Lima belas ribu, dua puluh ribu? Heh, untuk biaya sekolah Janu saja nggak cukup, apalagi yang lainnya. Seharusnya Abang sadar kalau kita nggak gableg duit. Jadi, tahu diri, syukuri apa yang ada. Nggak pantas orang miskin seperti kita bersikap seperti orang kaya yang kalau nggak terpenuhi suka marah dan ngambek.”

Kau segera saja menumpahkan segala kekesalan hati padanya. Berharap segala kekecewaan dalam dada terhempas keluar, hilang tak berbekas.

“Itu seharusnya cukup untuk hidup kita sehari hari. Dasar kamu nya saja yang ganjen. Lain kali, minta sama pelangganmu!”

Suami kau mendengus dengan menyebut kau pelacur. Ia berkata kalau kau pernah berduaan dengan seorang “pelanggan”.

Kau melotot tidak percaya. Sekuat tenaga kau menelan ludah, tapi sangat sulit. Kemarahan mengalir dalam darah, mengaliri jiwa raga. Kau kecewa karena dituduh yang tidak benar oleh suami. Orang yang seharusnya melindungi justru memojokkan kau dengan tuduhan yang tidak ada buktinya. Sungguh hina.

Karya Fujiharu

“Pelanggan?! Kapan aku berbuat senonoh dengan laki-laki lain? Apa bukannya kamu yang sering jalan dengan Sania, pelacur jalanan yang ada di gang itu?”

Plak!!!

Tamparan keras kau terima karena berkata kasar pada suami. Muka suami memerah, bak iblis yang siap menghujamkan trisula neraka, panas, dan menyengat.

“Dia lebih baik dari kamu! Dia lebih baik dari kamu. Kamu? Mengaku sebagai istri, tetapi berlaku sebagi pelacur!”

Kau sedih dan marah, sehingga petengkaran hebatpun terjadi. Kata-kata kotor keluar bak air yang mengalir deras. Kau dan suami saling mencaci, tidak peduli walaupun anak semata wayang kau melihat dan mendengar apa yang kau dan suami lakukan.

“Jalang, jahanam !”

Hati kau terlalu sedih, sehingga secepat kilat pergi berbenah dan meninggalkan anak dan suami. Sebelum pergi, kau minta pada suami agar menjaga Janu. Ya, ada rasa bersalah dalam relung kalbu kau ketika harus meninggalkannya.

Selama belasan tahun kau mengembara untuk mencari kebahagiaan. Kini, setelah kebahagiaan telah kau raih, timbul rasa kosong dalam hati. Ada sesuatu yang mengganjal dada. Sesuatu yang kurang dan harus diisi. Apakah anakku juga bahagia? Kau berusaha mencarinya keseluruh penjuru negeri agar bisa bertemu dengan anak semata wayang kau. Ya, Seluruh negeri, tapi tetap belum ketemu.

Hari ini kau melihat pemuda yang dipanggil jahanam. Entah kenapa ada sebersit kenangan dari ucapannya yang kasar itu. Kata kata jalang, wanita terkeji, kejam dan lainnya mengingatkan pada suami.

“Kata ayah, ibuku seorang pelacur. Tapi…..(tangan Jahanam menggaruk garuk dan tertawa) ia bukan. Ia ibu yang sayang aku. Ia selalu mengantarkan aku ke sekolah. Ia selalu mengelus rambutku jika aku mau tidur. Ibu yang paling baik sedunia. Ha…ha…”

Kau kembali memperhatikan tingkah laku jahanam. Kenapa jahanam seperti itu? Apakah orang tuanya tidak mendidiknya dengan benar? Kau berfikir, apakah anak kau juga mendapat didikan yang benar, setelah pikiran anaknya selalu diisi dengan pertengkaran dengan suami?

Tiba tiba panggilan keras dan lantang yang dikenal terdengar ditelinga kau. Segera saja kau kaget bukan kepalang, berusaha mencari tempat sembunyi karena mendengar suara yang tidak asing ditelinga. Suara itu mengingatkan diri kau pada suami yang sering membentak. Kau mencari asal suara itu. Ternyata jahanam yang dipanggil. Ia berlari ke arah Jahanam dengan tangan memegang minuman keras.

Deg!!!

Kau tidak percaya pada mata dan pikiran. Kini, bukan masa lalu, berdiri agak sempoyongan sesosok tubuh yang pernah mengisi hari hari kau dulu yang kelam. Ya, suami yang sering menyakiti kau. Ia menghampiri jahanam dan menarik kasar tangannya.

“Pulang! Kamu selalu bikin malu ayah. Ibumu memang jahat. Tidak sayang kamu. Ia perempuan jalang, Mengerti? Ayo, pulang!” Suami kau marah dan menyeret paksa jahanam. Jahanam berontak, tapi tenaganya tidak terlalu kuat untuk melawan ayahnya, walaupun dalam keadaan mabuk.

Kau terduduk dan meneteskan air mata. Bertanya dalam hati, apakah jahanam adalah anak yang kau tinggalkan? Ya, Jahanam anak kau. Dengarlah ketika jahanam memanggil suami kau dengan sebutan ayah? Tuhan.. Apakah ia harus menderita karena aku tidak ada? Apakah ia harus jadi gila demi menjadi penggantiku?

Kau bangkit berdiri dan segera menghapus air matamu. Aku harus kuat. Akan kujemput anakku. Ia tidak boleh menderita lagi.

Kau beruasaha kuat dan meyakinkan diri bahwa kau mampu melakukannya.

“Hei, bukankah kamu ibu jahanam? Ehm maaf maksudku Janu?” Ucap Tami, tetangganya.

Kau kaget mendapat pertanyaan itu. Keringat dingin mengucur. Kau mengalihkan perhatian dengan membetulkan posisi kacamata.

“Aku ibu jahanam? Ha…ha….Kamu tidak lihat penampilanku dan dia berbeda?” Ucap kau, emosi. Tami minta maaf.

“Derajatku lebih tinggi darinya.” Ucap kau dengan meninggikan nada suara.

Kau segera pergi bersama mobil mewah kesayangan. Pergi mencari pantai untuk mencari jiwanya, mencari harga diri dan berusaha menyembuhkan luka.
Baca Juga: