Haji Jambrong dan Menantu (Cerpen)

Fujiharu.com – Aku suka dengan cerpen ini. Isinya serasa menggambarkan hatiku jika benci ke seseorang, tapi harus dipendam karena lain hal.

Surau kini sepi.

Haji Jambrong dan Menantu

Tempat yang biasanya dijadikan tempat berkumpul dan beraktivitas ini mengalami gerusan zaman. Tawa, tangis dan jerit anak-anak yang berlarian selepas ngaji kini sepi. Hanya Ustad Najib lah yang masih setia mengaji dengan menggunakan pelantang suara. Harapannya hanya satu: agar orang-orang bisa mendengarkan keindahan Alquran disaat beragam acara televisi menindas keberadaan surau di kampung. Sebenarnya bukan hanya di kampung Arya, tapi kampung-kampung lainpun terserang penyakit yang sama. Untuk wilayah kota, sudah pasti bukan hitungan. Kesibukan kerja dan padatnya aktivitas sering membuat warga kota lupa kepada Nya. Jadi, sudah dipastikan banyak sekali mesjid besar yang kosong melompong. Iman seseoranglah yang membuat mesjid atau surau masih ramai, ucap seorang ustad di televisi.

Suara Ustad Najib memang tidak semerdu ketika muda dulu, tapi suara berat dan seraknya masih dinantikan beberapa muridnya, termasuk Arya. Mengingatkan pada masa kecil yang indah dan tak terlupakan ketika mengaji di surau.

Beberapa jamaah baru dan tetap telah disematkan pada Haji Jambrong dan menantunya, Arya. Kini, mereka menjadi pelanggan tetap surau. Itupun setelah titel haji dikukuhkan di depan nama Jambrong. Sebelumnya, tentu saja Haji Jambrong sama dengan penduduk lainnya, lebih senang di depan TV ketika azan berkumandang. Ditemani istrinya yang setia, suguhan nikmat dan hangat dari putrinya yang cantik, Aida dan cucu kecilnya. Ia lebih senang berada di dalam rumah, bercengkrama dengan anggota keluarga. Kesukaannya tentu saja menggunjingkan menantunya, suami dari Aida yang sejak menikah sampai sekarang belum bisa bekerja.

“Bisanya apa sih, Arya itu? Katanya sarjana S1, tapi mendapatkan kerja saja tidak bisa. Kenapa dulu kita setuju ya bu, menikahkan Aida dengan pengangguran itu?” Ucap Pak Jambrong sembari menyuap sepotong pisang goreng coklatnya.

Arya yang sedari tadi berada di ruangan yang sama dengan mertuanya mendengar dengan seksama. Alisnya berkerut, kurang suka dengan obrolan Haji Jambrong, mertuanya. Ia melirik Aida, istrinya yang segera menunduk pasrah. Berkali-kali Aida mencoba membela Arya bahwa mencari kerja saat ini tidaklah segampang yang ayahnya pikirkan. Bagi ayahnya, pembelaan Aida tiada berarti. Ayahnya segera membalikan keadaan dengan memberikan contoh Parmin, tetangganya yang hanya seorang lulusan SMA, tapi kini sudah bekerja di Jakarta. Setiap pulang, dia pasti membawa oleh-oleh baru: Radio untuk Pak Jambrong, Jam tangan untuk Aida, dan baju mahal untuk istrinya Pak Jambrong.

Pikirannya melayang. Tak sedikitpun Pak Jambrong menganggap Arya sebagai seorang menantu idaman.

“Ini ada oleh-oleh untuk Haji Jambrong, Bu Jambrong dan Aida. Nggak seberapa dibandingkan dengan kebaikan dari keluarga Bapak,” ucap Parmin.

Parmon adalah calon menantu gagal Pak Jambrong.

Kejadian seminggu yang lalu itu membuat Arya semakin panas sebagai laki laki. Kejantananannya terluka, apalagi Parmin adalah notabene pacar Aida semasa di SMA. Selama ini ia hanya menumpang di mertua. Penghasilannya memang tidak ada, karena setiap hari ia hanya membantu mertuanya mengurus sawah dan perkebunan. Tapi, bagi Haji Jambrong, itu bukanlah pekerjaan Arya. Baginya, pekerjaan yang terpandang haruslah sebagai Guru, Kepala Desa, Juragan- seperti Haji Jambrong- atau Pegawai PLN di taraf desa. Apalagi jika bekerja diluar desa, maka takjublah dia pada orang tersebut. Serasa mereka bisa menaklukkan dunia luar.

Segala jerih payah yang dilakukan Arya sebagai menantu tidak terlihat. Sawah yang semakin luas dan perkebunan yang menghasilkan banyak komoditi ekonomis serasa hanya hasil jerih payah Haji Jambrong seorang, padahal sejak ditangan Arya lah pertanian dan perkebunan tersebut semakin maju. Bahkan, ketika embel-embel haji ditempelkan, itu semua berkat kerja cerdik Arya dalam urusan produksi sampai disalurkan ke konsumen ecer maupun dalam partai besar, sehingga pundi pundi kekayaan semakin cepat terkumpul.

Suara Adzan Isya berkumandang di surau. Cukup merdu, meskipun tidak semerdu dulu. Suara ini mengingatkan masa kecil dahulu. Suara ini juga sebagai pertanda benih cinta di antara Arya dan Aida kecil. Selesai sholat tarawih, biasanya mereka bermain lebonan, orang kota ada yang menyebutnya benteng-bentengan. Permainan tradisional yang paling dinantikan ini tidak ada istilah pemisah gender. Semua sama. Yang harus dilakukan hanya lari! Pastinya dengan strategi agar kemenangan bisa didapatkan.

Aida seorang gadis kecil yang cerdas. Dia setahun lebih muda dari usia Arya, tapi usia tidak jadi penentu usia dewasa seseorang. Dibandingkan yang lain, Aida terlihat lebih dewasa dan matang untuk usianya. Meskipun Arya masih kelas enam, tapi jika dipadankan dengan Aida, jauh berbeda. Cara bersikap dan tindakannya mungkin bisa disetarakan dengan kakaknya Arya yang telah menginjak SMP. Terlihat jauh lebih dewasa jika berdebat sesuatu. Cara pandangnya yang tidak biasa terkadang membuat bingung dan sangsi, tapi dengan cara persuasi yang bagus, kita seolah dihipnotis oleh buaiannya. Tapi bukan Aida namanya jika cara-cara yang digunakan tidak lihai dan memesona. Segala ide dan kepemimpinannya diutarakan tidak memaksa, memerintah atau sok tua, tapi halus berbingkah indah.

Karya Fujiharu

Ketika dia ditawan oleh tim musuh, Tim Arya cukup kelimpungan. Pemimpin diculik, harus segera dibebaskan. Beberapa anggota tim mencoba untuk menyelamatkannya, tapi justru berakhir menjadi tawanan berikutnya. Disaat banyak anggota yang ditawan, maka barisan tawananpun semakin panjang dan lebih gampang untuk menyelamatkan dan menyerang balik. Disaat yang sama, Aida mengucapkan sesuatu dengan bibirnya yang mungil. Dia bicara dengan siapa? Arya menengok sebelah kanan dan kiri, tak ada siapapun. Ternyata hanya tinggal dirinya dan Parmin. Itupun Parmin masih dikejar tim lawan. Pasti dirinya!

Karya Fujiharu

“Ayo, maju! Jangan takut! Tarik tanganku dan segera balik ke benteng! Kita pasti menang!”

Ucapannya memang tidak terdengar, tapi Arya bisa membaca gerak bibirnya. Semangatnya yang hampir padam kini bergelora. Arya harus menyelamatkannya. Entah ada pengaruh dari film yang ditonton atau tidak. Arya membayangkan bahwa dirinya adalah pangeran yang akan menyelamatlkan putri raja yang ditawan oleh monster. Dilihatnya kanan kiri benteng, beberapa tim lawan telah maju dan mulai menyerang. Hampir saja Arya kalah sebelum Parmin datang menolong dan membantu menjaga benteng. Sedetik Parmin menjaga, Arya langsung melesat dan maju, merangsek benteng musuh untuk menyelamatkan putri Aida. Tangan Arya dan tangan Aida bersentuhan. Disaat itulah ada getar aneh yang menghinggapi. Dunia berputar, tak tentu arah. Dihadapannya hanya ada wajah Aida. Senyumnya terkembang indah. Sangat menawan. Gigi gigi putihnya ditemaram malam tetap terlihat rapi dan cantik. Kejadian sepersekian detik itu sirna tatkala dibanting kedunia realita. Bayangan indah tersebut seolah tercabut dari akarnya. Ustad Najib memanggil namanya dan teman laki laki lainnya untuk tadarusan.

Ah, ada nada kecewa ketika Ustad Najib berkoar kembali. Kenapa mengganggu, pikirnya.

Tapi, Arya bersyukur. Rasa itu tertahan di dada dan membuatnya semakin dalam merasakannya. Kata kakak, cinta namanya. Malah, ada tambahannya: Cinta Monyet. Jika malam itu terus berlanjut, mungkin akan ada rasa kikuk diantara mereka. Sekarang, Arya semakin belajar untuk menguasai rasa cinta yang bergelora tersebut.

“Wudhu, lalu mulai latihan adzan satu persatu. Setelahnya kita akan tadarusan sampai jam sepuluh.”

Permintaan Ustad bukanlah sesuatu yang aneh dan mengesalkan bagi Arya. Terbiasa mengaji dan tidur di surau membuat Arya menyukai ritme seperti ini. Arya lebih mengenal teman, kakak tingkat dan anggota keluarga. Belajar toleransi wajib hukumnya agar kita saling memahami karakter seseorang. Dan, kegiatan ini hanya ada dibulan puasa.

“Arya, segera ke Surau. Ustad Najib sudah memanggil. Jangan bikin malu bapak dengan datang terlambat. Nanti apa kata orang kalau menantu Haji Jambrong telat sholat. Mau ditaruh dimana muka bapak ini?”

Ucapan yang keluar dari mertuanya seolah titah raja yang tidak bisa dibantah. Tapi, dia juga hampir bosan dengan perkataan Haji Jambrong dengan kalimat, “apa kata orang kalau…” Baginya, Haji Jambrong lebih takut dan malu kepada orang-orang daripada tuhannya sendiri. Alasan haji pun sebenarnya dari orang-orang: apa kata orang jika sawah Jambrong luas, tapi tidak berhaji? Apa kata orang Haji Jambrong tidak ke surau? Apa kata orang menantu Haji Jambrong telat ke surau? Apa kata orang kalau menantunya tidak kerja juga? Apa kata orang dan apa kata orang.

Biasanya Arya hanya mendengus kecewa jika mertuanya mulai berceramah. Mau membantahpun percuma. Hidup anak dan istrinya ada digenggaman ayah mertuanya. Dikiranya tidak tahu diri nanti!

Haji Jambrong berdiri dibelakang Ustad Najib, posisi yang menurutnya sangat terhormat-dekat dengan imam. Senyumnya yang dibuat-buat dibagikan kepada jamaah lain. Arya yang melihatnya dari dekat sangat muak. Kenapa Tuhan memberikan rizki berhaji pada orang yang tidak pantas ini? Bukannya Ustad Najib lebih berhak? Beliau sangat santun dan disukai masyarakat. Beliau jugalah yang menjaga mesjid ini agar selalu ramai, meskipun anak-anak dan orang tua mereka lebih senang dimanja acara kartun dan gosip di pagi, siang , sore dan malam hari. Tuhan maha misteri.

Selesai sholat, ada kebiasan di surau untuk bersalaman dan membentuk lingkaran. Dan, Haji Jambrong sangat bersemangat untuk memberikan tangannya untuk disalam atau dicium orang. Dia sangat bangga ketika tangannya dicium. Sungguh wibawa, pikirnya. Bagi Arya, saat inilah yang paling dibenci. Ketika tangannya akan bersentuhan dengannya, Haji Jambrong dengan sengaja menarik tangan, tidak mau disalami oleh menantunya. Orang-orang sangat mengetahui hal ini. Serasa Arya dipermalukan lima kali sehari! Itu secara massal, belum secara pribadi. Getir.

Selesai sholat, Arya selalu berdoa kepada Yang Maha Esa. Mohon diberi kesabaran, keluasan rizki dan kebahagiaan untuk dirinya, keluarga dan ayah ibunya. Dalam doanya pula, dia sering berkeluh kesah. Bukan untuk merutuki nasibnya, tapi dia bingung tindakan apa yang harus dilakukan agar keluar dari semua kegetiran ini. Dia mempunyai istri yang cantik dan solehah. Anak yang lucu dan pintar. Keluarga yang selalu mendukung apapun tindakannya, tapi ketika melihat realita mertuanya, kelabu tercipta dibenaknya. Segala usaha untuk melamar kerja di perusahaan, sekolah dan membuka usahapun pernah, tapi masih belum berhasil. Alhasil, kini dia lebih banyak menghabiskan waktu membantu pekerjaan mertuanya, Haji Jambrong.

Surau ini menjadi jembatan curhat kepada Sang Pencipta. Istri yang selalu membelanya tidak mau diberatkan oleh pikiran-pikiran Arya. Dia lebih suka memikirkannya sendiri, tanpa membuat istrinya risau. Aida sangat mencintai Arya. Setiap celah akan dia bela demi suaminya. Bukan berarti dia durhaka terhadap orang tuanya, tapi dia berusaha agar Arya dimengerti. Dia telah banyak memajukan bisnis ayahnya dan sangat bertanggung jawab terhadap keluarga kecilnya, tapi bagi Haji Jambrong, Arya hanyalah parasit yang tidak bisa dibuang.

Bagi Haji Jambrong, Arya lebih bahaya dari hama penyakit pertanian. Jika hama penyakit bisa dibasmi dengan obat yang ada di pasaran, tapi Arya susah dan tidak ada obatnya. Kekecewaan Haji Jambrong ini sering diucapkan ketika ada kumpulan di surau kami. Dia sangat menyesal ketika menjadikannya suami dari Aida. Andai Parmin lebih dulu melamar dan Aida suka, maka dengan senang hati akan menerimanya. Kekecewaan terbesar bagi hidup Haji Jambrong.

Sekelebat pikiran jahat bertamu dalam pikiran Arya. Jika Haji Jambrong cukup kecewa, maka sekalian saja membuatnya benci sejadi-jadinya. Mungkin dengan mempermainkan Aida akan membuatnya sadar? Atau membuat bangkrut bisnis pertaniannya? Toh, semua kesuksesan ini juga hasil jerih payahnya. Biar dia tahu bahwa orang yang membuat pertanian maju adalah dirinya, Arya. Bukan Haji Jambrong atau orang lain. Semua ilmu marketing yang dia dapat telah diaplikasikan, tapi tidak ada sedikit apresiasipun yang dia terima. Ya, sekalian saja membuatnya sangat kecewa.

“Belum pulang juga. Sudah malam. Pulanglah, anak dan istrimu menunggu. Jangan buat mereka khawatir.” Bisik Ustad Najib.

Astagfirullah. Kembali aku diingatkan oleh orang tua ini. Dijatuhkan ke realita yang ada. Pikiran jahat yang berkeliaran seolah diingatkan kembali ke jalan yang semestinya.

“Tiap orang diberi cobaan yang berbeda. Kamulah yang akan memilih. Menang atau kalah.” Kalimat yang pelan tersebut sangat menggugah hati. Arya membalasnya dengan senyum terbaik. Terimakasih Ustad.

Arya segera melihat jam dinding surau. Pukul 11 malam. Ustad Najib mungkin tidak masalah karena rumahnya berada tepat di samping surau, sedangkan rumah Arya beberapa ratus meter dari surau. Arya terkadang bingung tentang Ustad Najib. Haruskan dia membenci atau tetap menyayanginya seperti dulu. Dia menjadi seorang yang disayangi karena hampir sebagian hidupnya telah diwarnai oleh kebaikan kebaikan yang dia ajarkan, bahkan dia juga yang telah meminangkan Aida untuknya. Disisi lain, dia menjadi seorang yang patut dibenci pula karena telah mengenalkannya dengan seorang monster yang bernama Haji Jambrong.

Musim kemarau panjang yang desa kami alami cukup lama. Banyak pepohonan yang mati kering. Air bersih sangat susah didapatkan. Dinginnya udara malam di musim kemarau dihalau Arya dengan sebatang rokok yang sedari tadi disimpan di saku celananya. Setiap hisapan rokok yang masuk ke paru-parunya semacam penghibur ditengah kelesuan hidup. Dibuangnya puntung rokok ke semak belukar. Aida paling benci pada bau rokok. Orang yang tidak menghargai hidup, ucap Aida jika melihat ada orang yang merokok. Dia tersenyum membayangkan Aida yang cemberut jika mencium bau rokok dari badannya. Dia berujar pelan, “ look good, feel good and do good!”

Sepanjang jalan pulang, Arya memikirkan beberapa peluang usaha yang ingin dikembangkan dari usaha mertuanya. Terkadang dia heran, kenapa usaha yang dia bangun sendiri selalu gagal, padahal usaha mertuanya bisa maju karena dirinya. Bingung.

Waktu yang paling disukainya memang berjalan sendirian dari surau menuju rumah. Disamping sepi, dia bisa bebas melanglang buana dalam berpikir, tanpa harus ada ocehan atau gerutuan dari mulut haji Jambrong.

“Arya, ayo segera pulang!”

Arya mencari suara tersebut. Dilihatnya Ustad Najib, istri dan anak yang sedang naik motor. Ustad Najib melambaikan tangan tanpa melihatnya.

“Iya ustad. Hati hati!”

Kemana Ustad Najib pergi? Oh…mungkin ke dokter. Arya dengar, anaknya yang masih SD sedang sakit. Mungkin pergi ke Dokter terdekat.

Melihat pekarangan rumah cukup membuat Arya sedikit suram. Dihadapannya sudah pasti akan ada ucapan menyakitkan dari mertuanya. Ada saja salah yang dia ciptakan jika bertatap muka dengan Haji Jambrong.

“Oh pulang juga. Padahal bapak berharap tidak pulang. Biar kita hemat beras, bu. Buat apa memberi makan pengangguran seperti dia.” Kalimat yang diucapkan Haji Jambrong memang sungguh menyakitkan. Istrinya berusaha meredam kekesalan Haji Jambrong.

“Udahlah, Pak. Dia kan dari surau. Arya, kamu belum makan? Makanlah dulu. Aida, tolong bantu temani suamimu makan!” Mertua perempuan Arya memang cukup pengertian. Arya mengangguk pelan menuju dapur.

Arya memang tidak diperbolehkan makan bersama Haji Jambrong dan keluarga, padahal dia juga anggota keluarga tersebut. Tapi bagi Haji Jambrong, makan bersama Arya seolah membagikan ketidakberuntungan hidup pada dirinya, istri, anak dan cucu. Maka, Arya lebih sering mengalah. Ketika anggota keluarga lain selesai makan, dia akan makan sesudahnya, di kamar. Dia lebih tenang makan di kamar daripada di ruang makan.

Disaat makan, Arya tidak tahu bahwa Aida memandangnya dengan seksama. Dilihatnya wajah suaminya yang sedang makan. Rasa kesal, sedih dan kecewa tergambar jelas dari muka Aida.

“Tadi curhat apa di surau? Mas Arya lebih banyak curhat di surau daripada ke Aida. Aidapun ingin dibagi kesenangan dan kesedihan yang Mas Arya punya.” Ucap Aida pelan.

Arya berhenti sejenak dari makannya, lalu tanpa menoleh melanjutkan makannya.

“Aida tahu Mas Arya kesal, tapi sabar ya.”

Arya mengangguk pelan, berkali kali.

“Mas hanya minta Aida tetap mendukung apapun yang suamimu ini lakukan. Selama itu benar. Dan tentang surau…Mas lebih suka aja jika bercerita langsung pada sang Pencipta di surau. Mas lebih tenang jika berada disana. Kita memang harus berbagi suka duka, tapi Mas tidak ingin berbagi duka. Yang seneng aja jarang Mas berikan. Hehehe.”

Aida tersenyum mendengar penuturan suaminya.

“Kebakaran!!! Kebakaran!!! Ada kebakaran!!!” Teriakan ramai bergema di desa kecil ini. Nada kepanikan tercipta seantero desa, tapi tidak bagi keluarga Haji Jambrong.

Arya bergegas keluar rumah mencari suara. Segera menuju kerumunan dan berusaha membantu memadamkan api. Ternyata surau terbakar. Bukan hanya surau, rumah Ustad Najib pun terbakar. Untunglah dia melihat Ustad Najib selamat bersama anak dan istri.

Dia dengan sekuat tenaga bergotong royong memadamkan api. Melihat surau yang terbakar serasa kenangan yang telah tercipta di tempat ini pun diberangus api. Dia berusaha secepatnya mematikan, tapi sia sia. Api padam setelah meratakan rumah Ustad Najib dan Surau. Bantuan pemadam kebakaran jauh dari desanya. Airpun seadanya. Warga desa cukup sedih dengan terbakarnya surau dan rumah Ustad Najib. Meskipun mereka jarang ke surau, mereka pernah merasakan indahnya masa kecil di surau ini.

Para warga kembali pulang ke rumahnya masing-masing. Adapun Ustad Najib dan keluarga ditampung oleh saudaranya. Sisa-sisa arang dan bara api masih terlihat, meskipun sebelumnya telah dipadamkan. Kemarau panjang rupanya telah memicu kebakaran ini.

“Syukurlah. Akhirnya bapak tidak perlu datang ke surau lagi. Bebas! Malas juga datang ke surau. Ternyata jadi haji bikin repot juga. Terimakasih tuhan, kini surau tidak ada.” Rasa senang terpampang jelas di mukanya. Istri dan anaknya justru merasakan hal yang sebaliknya.

“Pak, harusnya bapak sedih dan bantu warga, ini malah kegirangan.” Ucap Aida kesal.

“Iya, istigfar, Pak.” Tambah istrinya.

“Bagaimana? Hangus semua? Hahaha. Buat apa kamu bantu mereka? Kamu juga sekarang tidak perlu kesel ketika bapak suruh ke surau. Sekarang sudah hangus kan? Tidak perlu lagi datang.”

Mendengar perkataan itu, Arya kesal bukan main. Dikepalkannya tangan kanan miliknya. Ingin segera memukul mertua yang dibencinya ini. Tapi, melihat Aida, semuanya luluh. Dia kembali ke kamar dengan lesu. Suara kokok ayam dipagi hari membangunkan Haji Jambrong. Ingin dihirupnya udara pagi nan segar yang membuatnya bahagia beberapa jam lalu. Ya, karena dia tidak perlu ke surau. Aktivitas yang tidak begitu disukainya. Dia tersenyum gembira. Ada apa itu, kok terang sekali. Datangnya dari gudang padinya. Dia kaget bukan kepalang, gudang yang berada di selatan rumah inti terbakar. Gudang tersebut berisi padi yang dia kumpulkan dan menjadi penopang hidup keluarganya. Dia cemas dan ketakutan. Berteriak sekuat mungkin bahwa gudangnya terbakar. Semua orang justru lebih nyenyak tidur karena cukup capek ketika memadamkan kebakaran beberapa jam yang lalu.

“Arya!!!! Gudang kebakaran!!! Bangun!!!” Arya mendengar teriakan mertuanya. Dia masih ragu apa yang baru saja didengarnya. Kebakaran? Tapi ketika Haji Jambrong berteriak kebakaran digudang miliknya, dia makin yakin bahwa gudang padi milik mertuanya ludes terbakar. Suara kalut dan tangisannya terdengar jelas. Arya duduk dan berucap pelan ke istrinya.

“Kebakaran? Bangunkan Mas lima menit lagi.”

Arya tersenyum puas mendengar kebakaran tersebut dan kembali tidur. Pasti ini mimpi!

Baca Juga: